SELAMAT MEMBACA

nabil blog

Pemburu Dan Peternak

Pemburu dan peternak itu bertetangga. Namun anjing milik pemburu selalu mengganggu domba-domba si peternak, bahkan sering mencederai ternaknya.

Kisah Ikan Kecil

Dibelakang bangunan rumah yang sederhana, hiduplah seekor ikan kecil di sebuah kolam yang tidak seberapa luasnya. Disamping kolam tersebut dengan gagahnya pohon yang rindang berdiri.

Main di Sawah

Baca aja sendiri !!

Kepiting Muda dan Ibunya

"Mengapa kamu berjalan ke arah samping seperti itu?" tanya ibu kepiting kepada anaknya. "Kamu harus berjalan lurus ke depan dengan jari-jari kaki yang menghadap keluar."

Pages

Senin, 30 April 2012

Mengapa Ulat Menjadi Kupu-Kupu?


Dahulu kala di sebuah taman yang kecil, hiduplah sekumpulan ulat dan juga beberapa Bunga Sepatu dan Bunga Mawar. Pada awalnya mereka semua  bersahabat. Sampai suatu hari, sekuntum bunga mawar bernama Okit dengan sombongnya berkata.

“Hei para ulat! Jangan terus memakani daun kami!”

“Ya benar! Lihat…daun-daun kami jadi rusak, pergi kalian dari taman ini!” sahut bunga mawar lainnya.

Ulat-ulat merasa sangat sedih. Mereka memang memakani daun-daun bunga di taman itu. Tetapi jika mereka tidak makan, tentu mereka akan mati kelaparan. Akhirnya dengan kerendahan hati mereka berniat pergi dari taman itu. Namun sekuntum bunga sepatu mencegahnya.

“Hei, kalian jangan pergi,” kata Rena si bunga sepatu kepada ulat, “kalian boleh memakan daun kami para bunga sepatu di taman ini.”

“Benar, kami rela membagi daun kami kepada kalian,” ucap bunga sepatu lainnya.

Ulat sangat berterimakasih atas kebaikan bunga sepatu dan berkata.

“Terimakasih, kalian telah menolong kami.”

Akhirnya di taman itu bunga mawarlah yang paling indah karena daun mereka utuh. Terkadang beberapa bunga mawar mengejek bunga sepatu yang daun-daunnya bolong akibat dimakani ulat.

Suatu ketika, seorang manusia mendatangi taman itu. Dia berkata.

“Aku akan mengambil beberapa bunga disini. Oh tidak…bunga-bunga sepatu ini daunnya dimakani ulat. Aku ambil lima bunga mawar ini saja, daunnya masih bagus.”

Lalu manusia itu mencabut lima bunga mawar dari taman itu dan pergi. Taman itu berduka, khususnya bunga mawar. Mereka kehilangan lima anggotanya. Sekuntum bunga sepatu tiba-tiba berbisik kepada ulat.

“Kami harus berterimakasih kepada kalian. Kalau daun kami tidak dimakani kalian, mungkin kami juga diambil oleh manusia seperti lima bunga mawar itu.”

Di taman itu kini hanya tersisa lima bunga mawar. Mereka berlima takut akan diambil juga oleh manusia. Akhirnya mereka menyadari kesombongannya dan berkata.

“Kalian para ulat, kami mohon maafkanlah kesombongan kami. Kalian sekarang boleh memakan daun kami. Kami takut akan dicabut dari tanah seperti kelima saudara kami.”

“Tapi mawar, daun itu memang milik kalian, hak kalian untuk memberikannya kepada kami atau tidak,” tukas Hili si ulat jantan.

“Tidak ulat, sungguh kami sangat menyesal,” ucap Okit, “sudah seharusnya kami memberikan daun-daun kami untuk kalian makan. Bukankah sesama makhluk hidup kita harus saling tolong-menolong?”

Rena si bunga sepatu menjawab.

“Itu benar Kit. Bisa-bisa beberapa waktu kedepan bunga-bunga di sini akan habis dicabuti oleh manusia.”

Mendengar perkataan kedua bunga itu ulat-ulat sangat terharu dan seekor ulat menjadi bersemangat untuk berkata.

“Terima kasih para bunga, kalian sangat baik kepada kami,” teriak Hili berkaca-kaca, “kelak kami akan membalas jasa kalian!”

Beberapa hari berlalu, setelah ulat memakan daun-daun bunga mawar dan bunga sepatu, mereka bersepuluh berubah menjadi kepompong. Dalam beberapa minggu kepompong itu menetas dan ulat-ulat itu berubah menjadi kupu-kupu yang sangat indah. Para bunga takjub melihat perubahan itu, dan salah satu dari mereka berkata.

“Wah…kalian telah berubah wujud! Kalian kini bersayap dan indah sekali!”

“Terima kasih, “ kata Hili yang kini telah menjadi kupu-kupu, “Sekarang kami akan memenuhi janji kami. Kami akan membalas jasa kalian.”

Sepuluh kupu-kupu itu menolong bunga menyebarkan benihnya. Mereka menggunakan kemampuan terbangnya untuk menyebarkan benih-benih bunga mawar dan bunga sepatu secara merata di taman itu. Bunga-bunga sangat berterimakasih kepada kupu-kupu. Kini kupu-kupu tidak lagi mendapatkan daun dari bunga, tetapi madu yang sangat manis dan lebih enak daripada daun.

Berkat pertolongan sepuluh kupu-kupu, beberapa minggu kemudian jumlah bunga di taman itu bertambah. Kini di taman itu terdapat ratusan bunga mawar dan bunga sepatu. Kehidupan di taman itu menjadi penuh dengan kebahagiaan.

Namun di tengah kebahagiaan itu, tiba-tiba seorang manusia kembali datang. Seluruh penghuni taman itu pasrah jika ada bunga yang akan dicabut lagi oleh manusia itu.

“Kenanglah taman ini meskipun kalian dicabut olehnya!” teriak Okit kepada seluruh bunga. Perkataan Okit itu menguatkan hati para bunga untuk tetap kuat. Ketika mereka sudah siap menerima keadaan, manusia itu justru berkata.

“Oh Tuhan, taman ini sekarang indah sekali! Bunga-bunganya jauh lebih banyak dan sekarang ada kupu-kupu yang mengitarinya. Aku akan menjaga bunga-bunga ini agar tetap tertanam dan menyiraminya setiap hari.”

Manusia itu kemudian pergi tanpa mencabut sekuntum bunga pun. Seluruh penghuni taman itu bersorak-sorai gembira karena tidak ada yang berpisah. Seluruh bunga mawar, bunga sepatu, dan kupu-kupu kini hidup bahagia. Sampai saat ini, itulah alasan mengapa kupu-kupu mau membantu menyebarkan benih bunga, yaitu untuk membalas jasa bunga yang telah memberi mereka daun.

[sumber]

Rajawali Yang Cerdik

Di Suatu hari yang panas seekor rajawali sangat haus dan ingin minum. Sungai amat jauh dan sangat melelahkan jika terbang ke sana untuk minum. Ia tidak melihat kolam air di mana pun. Ia terbang berputar-putar. Akhirnya ia melihat sebuah buyung di luar rumah. Rajawali terbang turun ke buyung itu. Di sana ada sedikit air di dasar buyung. Rajawali memasukkan kepalanya ke dalam buyung tetapi ia tidak menggapai air itu. Ia memanjat ke atas buyung. Ia memasukkan lagi kepalanya ke dalam buyung  tetapi paruhnya tidak bisa mencapai air itu.

Kemudian ia mencari akal.
Rajawali itu terbang tinggi dan kemudian turun menuju ke buyung untuk memecahkannya dengan paruhnya tetapi buyung itu amat kuat. Ia tidak dapat memecahkannya.  Rajawali itu keluar terbang kearah buyung kemudian ia menabrakkan sayapnya. Ia mencoba memecahkannya, agar airnya akan keluar membasahi lantai. Tetapi buyung itu amat kuat. Rajawali itu amat letih bila harus terbang lebih jauh lagi. Ia berpikir ia akan mati kehausan.

Rajawali itu duduk termenung di sarangnya. Ia berpikir terus menerus  Ia tidak mau mati karena kehausan. Ia melihat banyak batu-batu kecil di tanah. Ia mendapatkan ide. Ia mengambil batu itu dan memasukkannya ke dalam buyung. Ia memasukkan dan memasukkan terus. Air itu naik lebih tinggi setiap kali batu jatuh ke dalam buyung. Buyung itu hampir penuh dengan batu. Air telah naik sampai ke permukaan. Rajawali yang pintar itu memasukkan paruhnya  dan ia mendapatkan air. Pepatah mengatakan bahwa “ Jika ada kemauan pasti ada jalan. “ Rajawali itu telah membuktikannya.

Sabtu, 28 April 2012

Petani Yang Baik Hati


Di suatu desa, hiduplah seorang petani yang sudah tua. Petani ini hidup seorang diri dan sangat miskin, pakaiannya penuh dengan tambalan dan rumahnya terbuat dari gubuk kayu. Musim dingin sudah tiba, Pak Petani tidak punya makanan , juga tidak mempunyai kayu bakar untuk menghangatkan diri, jadi hari ini Pak Petani hendak pergi ke pasar untuk mencari pekerjaan. Ketika keluar dari rumah, dilihatnya ada sebutir telur tergeletak diatas tanah bersalju.

Dengan hati-hati dipungutnya telur tersebut dan dibawanya ke dalam rumah. Pak Petani menyelimuti telur itu dengan kain lusuh dan meletakkannya di dalam kardus agar tetap hangat. Setelah itu dia pergi ke pasar untuk bekerja.

Pak Petani membuat telur itu menjadi hangat setiap hari sampai telur itu menetas. Ternyata telur itu adalah telur Burung Camar, mungkin induknya menjatuhkannya ketika hendak pindah ke tempat yang lebih hangat. Pak Petani merawat Burung Camar kecil itu dengan penuh kasih sayang. Dia selalu membagi setiap makanan yang diperolehnya dari bekerja di pasar. Ketika harus meninggalkan Burung Camar itu sendirian, Pak Petani akan meletakkannya di dalam kardus dan menyalakan perapian agar Burung Camar tetap hangat.

Hari-hari berlalu, Burung camar kecil tumbuh semakin besar. Pak Petani sadar, Burung Camar ini tidak selamanya akan tinggal bersama dirinya. Dengan berlinang air mata, Pak Petani melepaskan Burung Camar itu agar pergi ke selatan, ke tempat yang hangat.

Suatu hari, Pak Petani terbaring sakit karena kedinginan, dia tidak punya uang untuk membeli obat, kayu bakar dan makanan.

Tok…tok…..tok……., terdengar suara dari pintu rumah Pak Petani.

Ternyata Burung Camar itu kembali, diparuhnya terdapat benih tanaman.

Pak Petani heran Burung Camar itu masih mengingatnya, dibiarkannya Burung Camar itu masuk dan memberinya minum. Sambil memandang benih yang dibawa oleh burung Camar, Pak Petani bertanya-tanya… benih apakah ini ? dapatkah aku menanamnya di tengah musim dingin ini ?tanyanya dalam hati.

Burung Camar keluar dari rumah Pak Petani, membuat lubang di halaman rumah Pak Petani lalu menanam benih itu . Ketika hari menjelang senja Burung Camar itu pergi meninggalkan Pak Petani.

Esok harinya, keajaiban terjadi, benih yang ditanam Burung Camar tumbuh menjadi Pohon lengkap dengan buahnya hanya dalam sehari !!!! Pak Petani sangat terkejut melihatnya.

Karena lapar, Pak Petani memakan buah pohon itu. Ajaib, tubuhnya menjadi kuat dan dia tidak merasa sakit. Karena Keajaibannya, Pak Petani menamakan Pohon itu Pohon Dewa, karena buahnya dapat membuat Pak Petani menjadi sehat kembali.

Pak Petani merawat pohon itu dengan baik. Meskipun musim dingin, pohon itu terus berbuah dan tidak menjadi kering. Pak Petani menjual buah itu dan mendapatkan banyak uang.

Sekarang Pak Petani tidak lagi kedinginan dan kelaparan. Meskipun demikian , Pak Petani tetap murah hati, dia ingat bahwa apa yang diterimanya sekarang adalah buah dari ketulusannya menolong sesama makhluk hidup.



Asal Mula Rumah Siput



Dahulu kala, siput tidak membawa rumahnya kemana-mana… Pertama kali siput tinggal di sarang burung yang sudah ditinggalkan induk burung di atas pohon .
Malam terasa hangat dan siang terasa sejuk karena daun-daun pohon merintangi sinar matahari yang jatuh tepat ke sarang tempat siput tinggal. Tetapi ketika musim Hujan datang, daun-daun itu tidak bisa lagi menghalangi air hujan yang jatuh,.. siput menjadi basah dan kedinginan terkena air hujan.
Kemudian siput pindah ke dalam lubang yang ada di batang pohon, Jika hari panas, siput terlindung dengan baik, bahkan jika hujan turun, siput tidak akan basah dan kedinginan. Sepertinya aku menemukan rumah yang cocok untukku, gumam siput dalam hati.
Tetapi di suatu hari yang cerah, datanglah burung pelatuk ,, tok..tok…tok…burung pelatuk terus mematuk batang pohon tempat rumah siput, siput menjadi terganggu dan tidak bisa tidur,
Dengan hati jengkel, siput turun dari lubang batang pohon dan mencari tempat tinggal selanjutnya. Siput menemukan sebuah lubang di tanah, kelihatannya hangat jika malam datang, pikir siput. Siput membersihkan lubang tersebut dan memutuskan untuk tinggal di dalamnya, tetapi ketika malam datang, tikus-tikus datang menggali dari segala arah merusak rumah siput. Apa mau dikata, siput pergi meninggalkan lubang itu untuk mencari rumah baru….
Siput berjalan terus sampai di tepi pantai penuh dengan batu karang. Sela-sela batu karang dapat menjadi rumahku !!! siput bersorak senang, aku bisa berlindung dari panas matahari dan hujan, tidak aka nada burung pelatuk yang akan mematuk batu karang ini, dan tikus-tikus tidak akan mampu menggali lubang menembus ke batu ini.
Siput pun dapat beristirahat dengan tenang, tetapi ketika air laut pasang dan naik sampai ke atas batu karang, siput ikut tersapu bersama dengan ombak. Sekali lagi siput harus pergi mencari rumah baru. Ketika berjalan meninggalkan pantai, siput menemukan sebuah cangkang kosong, bentuknya cantik dan sangat ringan….
Karena lelah dan kedinginan, Siput masuk ke dalam cangkang itu , merasa hangat dan nyaman lalu tidur bergelung di dalamnya.
Ketika pagi datang, Siput menyadari telah menemukan rumah yang terbaik baginya. Cangkang ini sangat cocok untuknya. Aku tidak perlu lagi cepat-cepat pulang jika hujan turun, aku tidak akan kepanasan lagi, tidak ada yang akan menggangguku, …. aku akan membawa rumah ini bersamaku ke manapun aku pergi.

Onde-Onde Kacang Merah



Onde-onde adalah makanan unik, hasil kreasi orang sabar. Gak percaya? Lihat saja, siapakah yang lebih sabar dan telaten dari pembuat onde-onde, yang bisa menata dengan rapi butiran wijen diseluruh permukaan bola onde-onde? Hehe.......

Makanan dengan bahan dasar tepung beras ketan yang dihiasi wijen ini dalamnya ada isinya kacang hijau atau kacang merah yang khas rasa manisnya. Hemmm....! Tentunya jajanan yang satu ini tak asing lagi bagi kita. Tapi tahukah anda jika ternyata onde-onde yang isinya kacang merah adalah makanan khas di daerah Jombang.

Yupz. Onde-onde kacang merah adalah makanan khas Jombang, tapi di Jombang sendiri onde-onde kacang merah ini sudah beberapa tahun terakhir ini keberadaannya sulit ditemukan. Ada memang, tapi tak sebanyak onde-onde isi kacang hijau. Masih ditemui seorang penjual onde-onde kacang merah di daerah Mojowarno. Bapak-bapak yang usianya sekitar 50 tahunan masih setia membuat jajanan onde-onde kacang merah ini. Setiap selesai sholat subuh beliau membawa jajanan ondenya dengan mengendarai sepeda kayuh. Orang-orang yang sudah biasa beli biasanya akan mengira-ira sendiri waktu untuk menunggu dipinggir jalan untuk membeli.

Onde-onde yang berdiameter sekitar 5 cm ini beliau jual dengan harga Rp.400,00 saja. cukup murah bukan? Rasanya enak lho.... buat sarapan nikmat juga. Khas rasa kacang merahnya sangat terasa. Biasanya penjual onde-onde ini akan mengayuh sepedanya sepanjang jalan dari mojowarno hingga ke pasar Cukir. Di Pasar Cukir ini kemudian beliau menghentikan kayuhan dan onde-onde lezatnya akan diserbu pembeli. Tak sampai siang hari biasanya beliau sudah mengayuh sepedanya untuk kembali pulang.

Begitulah sejak bertahun-tahun lalu. Bapak itu masih menjual onde-onde isi kacang merah. Berbeda dengan onde-onde isi kacang hijau yang banyak dijual dimana-mana, selain bapak itu, di daerah sekitar jarang sekali bisa didapati penjual onde-onde isi kacang merah seolah-olah ini menjadi sebuah bisnis yang kurang menarik.

Satu pemandangan yang menarik memang saat kita menyoroti tentang jajanan khas Jombang ini. Sederhana memang, namun cukup menggelitik untuk dicermati. Mengapa onde-onde isi kacang merah yang menjadi jajanan khas ini bisa pudar keberadaannya di Jombang itu sendiri? Padahal onde-onde isi kacang merah ini adalah simpanan kekayaan Jombang. Sangat disayangkan jika onde-onde isi kacang merah ini nantinya tidak terhiraukan dan akhirnya hilang begitu saja. Untuk itu, diperlukan kerjasama berbagai pihak untuk eksistensi kekayaaan khas Jombang. Pemerintah setempat hendaknya lebih peduli dengan hal ini, bertambah strategi dalam mengupayakan kelestarian terhadap ke-khas-an Jombang. Tentunya upaya pemerintah tidak akan dapat maksimal tanpa dukungan dari seluruh masyarakat. Semoga segera dapat kita jumpai dan nikmati dengan mudah khas lezatnya onde-onde isi kacang merah di Jombang! Mari kita tingkatkan kelestarian kekayaan khas Jombang.

Kamis, 26 April 2012

Kerbau dan Kambing





Kerbau dan KambingSeekor kerbau jantan berhasil lolos dari serangan seekor singa dengan cara memasuki sebuah gua dimana gua tersebut sering digunakan oleh kumpulan kambing sebagai tempat berteduh dan menginap saat malam tiba ataupun saat cuaca sedang memburuk. Saat itu hanya satu kambing jantan yang ada di dalam gua tersebut. Saat kerbau masuk kedalam gua, kambing jantan itu menundukkan kepalanya, berlari untuk menabrak kerbau tersebut dengan tanduknya agar kerbau jantan itu keluar dari gua dan dimangsa oleh sang Singa. Kerbau itu hanya tinggal diam melihat tingkah laku sang Kambing. Sedang diluar sana, sang Singa berkeliaran di muka gua mencari mangsanya.
Lalu sang kerbau berkata kepada sang kambing, "Jangan berpikir bahwa saya akan menyerah dan diam saja melihat tingkah lakumu yang pengecut karena saya merasa takut kepadamu. Saat singa itu pergi, saya akan memberi kamu pelajaran yang tidak akan pernah kamu lupakan."
Sangatlah tidak baik, mengambil keuntungan dari kemalangan orang lain.

Dua Orang Pengembara dan seekor Beruang




Dua pengembara dan seekor beruang
Dua orang berjalan mengembara bersama-sama melalui sebuah hutan yang lebat. Saat itu tiba-tiba seekor beruang yang sangat besar keluar dari semak-semak di dekat mereka.
Salah satu pengembara, hanya memikirkan keselamatannya dan tidak menghiraukan temannya, memanjat ke sebuah pohon yang berada dekat dengannya.
Pengembara yang lain, merasa tidak dapat melawan beruang yang sangat besar itu sendirian, melemparkan dirinya ke tanah dan berbaring diam-diam, seolah-olah dia telah meninggal. Dia sering mendengar bahwa beruang tidak akan menyentuh hewan atau orang yang telah meninggal.
Temannya yang berada di pohon tidak berbuat apa-apa untuk menolong temannya yang berbaring. Entah hal ini benar atau tidak, beruang itu sejenak mengendus-endus di dekat kepalanya, dan kelihatannya puas bahwa korbannya telah meninggal, beruang tersebutpun berjalan pergi.
Pengembara yang berada di atas pohon kemudian turun dari persembunyiannya.
"Kelihatannya seolah-olah beruang itu membisikkan sesuatu di telingamu," katanya. "Apa yang di katakan oleh beruang itu"
"Beruang itu berkata," kata pengembara yang berbaring tadi, "Tidak bijaksana berjalan bersama-sama dan berteman dengan seseorang yang membiarkan dan tidak menghiraukan temannya yang berada dalam bahaya."
Kemalangan dapat menguji sebuah persahabatan.
[sumber]

Lebaran

Selasa, 24 April 2012

Bunga Mawar Nek Suni


Cerita Pendek M. Arman AZ
Nek Suni menangis tersedu-sedu di tepi ranjang. Dia tak pernah menyangka cucunya tega berbuat kasar. Barusan tadi, Lusi, yang masih kelas dua SMU, mencengkeram lengannya kuat-kuat. Sakit sekali rasanya. Ia diseret paksa dari halaman, lalu dijebloskan ke kamar. Tubuh ringkihnya gemetar mengingat makian Lusi.
"Dasar orang pikun! Keluar rumah kok lewat jendela?! Mikir, dong!" bentak Lusi sambil menempelkan telunjuk ke dahinya sendiri.
Nek Suni menundukkan kepala ketika Lusi berkelebat di depannya. Mata yang sangar mendelik itu membuatnya gugup. "Bikin malu aja! Untung nggak diteriakin maling sama tetangga!." Amarah di kepala Lusi begitu mendidih. Sambil bersungut-sungut, jendela kamar dikuncinya rapat-rapat. Gordennya di sibak hingga cahaya matahari sulit menerobos kamar. Dan terakhir, brakk!! Pintu di banting kasar. Sunyi mendekap sedu sedan Nek Suni.
Tadi, ketika membuka jendela kamar, mata Nek Suni tertuju ke halaman. Ia tersenyum melihat rumpun mawar yang telah bersemi. Tiba-tiba saja hatinya tergerak untuk memetik bunga itu. Tidak sia-sia menanam dan merawatnya dengan telaten. Dulu, sebelum tinggal di rumah itu, sepetak tanah di depan jendela dibiarkan terbengkalai oleh empunya rumah. Belum lagi sampah dan daun-daun kering menggunung di sana.
Nek Suni bingung. Lompat jendela kan lebih cepat ketimbang lewat pintu. Kenapa Lusi mesti marah? Ah, dasar anak zaman sekarang, suka memperlakukan orang tua seenaknya. Orangtuanya juga salah. Kelewat ngoyo bekerja sampai anaknya lupa diajari tata krama.
Nek Suni bangkit dari ranjang. Mengendap-endap seperti pencuri. Ia tak ingin gerak-geriknya terdengar Lusi. Begitu sampai di dekat jendela, ia menyibak gorden, lalu membuka gerendel kunci sehalus mungkin.
Bunga itu masih di sana. Ada sisa embun melekat di punggungnya. Matahari minggu pagi yang ramah membuatnya berkilat-kilat. Amboi, lihatlah mawar itu! Menari gemulai di buai angin. Seekor kupu-kupu, entah dari mana datangnya, terbang berputar-putar sebelum hinggap di bibir bunga.
Angin berhembus sepoi. Mengirim aroma mawar ke hidung Nek Suni. Oh, harum sekali, desis Nek Suni dalam hati. Tangannya melambai-lambai, mengucap selamat jalan, ketika kupu-kupu itu terbang menjauh.
***
Meja makan ini sunyi sekali. Menu terhidang lengkap, tapi Nek Suni tak ada selera untuk menyentuhnya. Kenangannya melesat ke kampung. Ia ingat Marto anak bungsunya, Sukowati mantunya, dan keempat cucunya yang mungil. Mereka selalu meluangkan waktu untuk makan bersama. Entah sarapan, makan siang, atau makan malam. Itu sudah jadi kewajiban tak tertulis. Meski hanya duduk menghampar di atas tikar pandan, tapi diselingi obrolan ringan dan senda gurau, suasana jadi tambah hangat dan penuh warna. Nek Suni merindukan saat-saat yang hilang itu.
Jauh beda dengan di sini. Lastri, pembantu kenes dan bawel, tadi berceloteh panjang lebar. Katanya Pak Handoyo, putra sulung Nek Suni, sudah tiga hari belum pulang. Kesibukannya makin padat semenjak diangkat jadi pimpro. Proyeknya miliaran. Utang luar negeri. Nek Suni bingung membayangkan bagaimana rasanya mengurus uang sebanyak itu. Apa Handoyo tak tergiur menilepnya? Astuti, mantunya yang pintar merawat badan, sedang pergi arisan. Pulangnya sore karena langsung fitness. Rudi, kakak Lusi, belum pulang. Latihan band sama teman-teman, begitu katanya waktu pamit pada Nek Suni. Sementara Lusi, entah sudah pergi ke mana. Kalau tak dijemput pacarnya barusan, mana berani Nek Suni keluar kamar. Ditaruh di mana mata anak itu? pikir Nek Suni sengit waktu mengintip lewat jendela. "Milih pacar kok yang tampangnya berandalan."
Isi perut yang mulai merintih memaksa tangan Nek Suni meraih piring. Makannya sedikit sekali. Belum sebulan tinggal di rumah itu, tapi ia sudah tidak kerasan. Tempat itu bagai neraka kecil. Percuma Handoyo memboyongnya dari kampung, tapi begitu sampai di rumah mewah ini, Nek Suni justru merasa seperti orang asing.
***
Kening Handoyo berkerut. Berkas-berkas proyek berserak di meja. Lusa, tim review mission ADB datang. Handoyo tak ingin mereka menemukan kejanggalan. Kursi basahnya bisa melayang dan reputasinya pasti anjlok. Jangan sampai kecerobohan rekan-rekan sekantornya terulang lagi. Mereka keburu silau melihat uang banyak, sampai lupa bermain cantik sewaktu menyusun laporan. Astuti dan Lusi sedang menonton sinetron. Rudi mengurung diri dalam kamar sambil main play station.
Ketika Astuti menanyakan Nenek, Lusi merasa itulah saat yang tepat untuk buka mulut. Sambil membolak-balik majalah, dengan suara gamang, Lusi bertanya, "Ma, kenapa sih, Nenek nggak kita titipkan di panti jompo saja?!." Astuti sedikit kaget mendengar pertanyaan macam itu.
"Lho, memangnya kenapa?" selidik Astuti.
"Mmm, kita kan punya kesibukan masing-masing. Waktu untuk mengurus nenek jadi terbatas. Kasihan, kan?! Beda kalau di panti jompo. Ada perawat yang telaten mengurusnya."
Astuti tak langsung menelan kata-kata Lusi. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang tak beres. Ia bertanya seperti menginterogasi. Merasa terpojok, akhirnya Lusi membeberkan kejadian beberapa hari lalu. Astusi tak bisa membendung tawa membayangkan kelakuan mertuanya. "Pernah juga Nenek kepergok minum pakai piring. Kebayang gak sih?! Apalagi kalau teman Lusi datang. Semuanya diceramahi. Mereka sih cengar-cengir aja. Lusi malu, Ma. Mau ditaruh di mana muka Lusi?" Unek-unek yang selama ini terpendam, dimuntahkan di depan mamanya.
"Lusi, Nenek kan sudah tua. Kita yang muda, wajib mengurusnya. Makanya Nenek dibawa kemari, supaya bisa istirahat sambil menikmati hari tuanya."
"Iya! Nenek yang istirahat, kita yang kelimpungan." celetuk Lusi. Astuti mendelik. Kalau kalimat itu terdengar suaminya, bisa panjang ceritanya.
"Sudahlah, nanti kita pikirkan lagi." jawab Astuti tak acuh. Tayangan iklan sudah habis. Ia tak ingin ketinggalan lanjutan sinetron kegemarannya.
Tak ada yang tahu kalau Nek Suni menguping percakapan itu. Telinga kirinya menempel di balik pintu. Sesekali ia mengintip dari lubang kunci. Mendengar dirinya akan dititipkan ke panti jompo, Nek Suni terhenyak kaget. Ia melangkah gemetar ke ranjang. Meringkuk di balik selimut.

Liang Lahat Zorta


Cerita Pendek M. Arman AZ
Zorta terperanjat menyambut pesan yang datang bertubi-tubi, beberapa detik setelah ponselnya dinyalakan. Lengking benda mungil itu serasa menggetarkan dinding kamar hotel. Memecah kehampaan pagi.
Wajahnya pucat mengetahui serangkaian SMS itu dikirim Verna, istrinya. Jempol Zorta lincah memencet keypad. Matanya tak berkedip menatap kalimat yang tertera di layar. Istrinya mengabarkan bahwa Pak Yongka, tetangga sebelah rumah mereka, meninggal jam sebelas malam tadi. Beliau tersengat stroke kedua. Pesan-pesan berikutnya berisi protes. Kenapa HP-nya tak aktif? Kemana dan apa saja yang dilakukan semalaman? Zorta membuang nafas gelisah.
Hampir jam enam pagi. Tanpa mandi atau sekedar cuci muka, Zorta bergegas pulang. Tentu saja mengantar teman kencannya pulang ke tempat kos lebih dulu. Kurang dari setengah jam, Zorta sudah memasuki ruas jalan menuju rumahnya.
Kertas minyak kuning melambai-lambai menyambut Zorta. Kendaraan parkir memanjang di kiri kanan jalan. Zorta memantau situasi dari dalam mobilnya. Halaman rumah Pak Yongka penuh pelayat. Semasa hidup, almarhum cukup disegani. Beberapa tetangga hilir mudik. Memasang tarup, menyusun kursi, dan mengatur kendaraan. Banyak juga wajah-wajah asing seliweran. Zorta menduga, barangkali mereka bekas murid almarhum. Sebagai pensiunan guru, tentu banyak anak didiknya yang sukses. Mendapat kabar Pak Yongka mangkat, mereka berdatangan memberi penghormatan terakhir.
Semula Zorta enggan melayat. Ia malu. Tetangga sebelah rumah kok datang belakangan. Tapi karena terus didesak Verna, akhirnya Zorta berangkat juga. Langkahnya terasa berat.
Malamnya, dengan alasan meriang, Zorta malas tahlilan. Untuk menghindari gerutuan Verna, Zorta mengutus sopirnya untuk menghadiri acara itu. Lantunan surat Yasin terdengar sayup-sayup. Zorta gelisah. Matanya nanar menatap wanita-wanita bahenol di layar kaca, sementara pikirannya melanglang ke tempat lain.
Suasana pemakaman Pak Yongka siang tadi menggasing di benak Zorta. Diorama perpisahan yang ngelangut. Iring-iringan jenazah menyusuri jalanan yang melepuh. Beberapa lelaki bahu-membahu menimbun jenazah. Meski keringat meleleh dan pakaian belepotan tanah, gerak mereka tetap ritmis saat mengayun pacul dan sekop, mendongkel tanah, lalu melemparnya ke dalam lubang yang menganga. Lambat laun liang itu tertutup gundukan tanah merah. Nisan kayu ditancapkan. Bunga warna-warni ditabur.
Zorta menyaksikan semuanya dari kejauhan, di bawah pohon kamboja. Ia seperti dicekam sesuatu. Entah apa. Angin sepoi menyentil setangkai bunga kamboja hingga lepas dari tangkainya. Jatuh persis di ubun-ubun Zorta yang botak mengkilat. Aroma harum berkelebat. Ia terkesiap dari lamunan. Memandangi bunga yang mendarat di ujung sepatunya. Zorta menelan ludah. Detik itu juga ia merasa ada kekuatan gaib yang melemparnya ke sebuah tempat yang asing dan jauh.
* * *
Keinginan aneh Zorta diprotes Verna. "Bapak, kok, ngomongnya ngelantur, sih?!". Istri mana tak kaget ketika suaminya berkata bahwa ia ingin memesan makam pribadi. Suara datar Zorta ketika mencetuskan niat itu membuat Verna curiga. Firasat buruk sempat melintas. Memahat kecemasan di wajah wanita yang rutin merawat tubuhnya di salon kecantikan itu.
"Aku serius, lho, bu. Hidup dan mati memang rahasia Tuhan. Tapi bukan itu yang kurisaukan. Coba bayangkan, bila meninggal nanti, kita kesulitan mendapat liang lahat untuk jasad kita." Samar-samar, Verna mulai bisa menerka apa yang tersirat di benak suaminya.
"Pemakaman Pak Yongka minggu lalu membuatku sadar pentingnya sepetak tanah untuk jasad manusia. Memang cuma satu kali dua meter, tapi di masa depan, pasti sulit memiliki tanah secuil itu. Sekarang saja, pemakaman sudah penuh sesak. Dilapis pualam atau dipagari. Bisa jadi ada kubur yang sudah puluhan tahun tanpa nisan, dan sudah rata dengan tanah, dipakai lagi untuk mengubur orang lain. Mana kita tahu, Bu?! Aku ogah dikubur tumpang tindih cuma gara-gara tak ada tanah yang tersisa."
Zorta menghitung-hitung. Mungkin, sisa umurnya kurang dua puluh tahun lagi. Dia khawatir jika saat itu tiba, ia sudah tak kebagian tanah kuburan. Jangankan di masa depan, saat ini pun tanah sudah jadi barang mahal. Manusia bisa saling tikam demi sepetak tanah. Karena itu, ia kebelet mematok tanah kuburan sejak awal.


Sebagai wakil rakyat, Zorta ditunjang berbagai fasilitas untuk mempermudah pekerjaannya. Mobil dan rumah dinas, tunjangan kesehatan, tunjangan keluarga, dan tunjangan lain-lain. Belum lagi jabatan yang diduduki, membuatnya gampang main tunjuk atau mengeluarkan memo-memo siluman. Bisnis sampingannya sebagai broker proyek-proyek kakap juga tak sedikit. Meski hanya bermain di belakang layar, tapi uang mengalir lancar ke rekening banknya.
Siapa bisa menebak nasib orang? Dulu Zorta dikenal sebagai rentenir plus makelar. Sekarang ia jadi warga terpandang. Mulut manisnya berjasa besar bagi partainya. Kalau sedang menabur janji, pendengarnya seolah terhipnotis. Tapi bukan sedikit yang mengoloknya. Zorta diibaratkan sayur kebanyakan kuah, tak jelas lagi isinya. Kini orang-orang yang pernah mencemooh, berbalik seratus delapan puluh derajat. Mengangguk dan senyum simpul ketika Zorta melintas di depan mereka.
Beberapa minggu berlalu. Keinginan Zorta memiliki makam pribadi belum juga pupus. Ketika kongkow dengan beberapa rekannya di sebuah cafi, ia menyisipkan gagasannya.
"Minta tunjangan pemakaman?! Apa nggak kelewatan, tuh?!" sahut seseorang. Semua yang duduk melingkari meja itu terkejut mendengar usul Zorta. Tatapan mereka mengandung berbagai pertanyaan.
"Kalau tunjangan kematian, sih, bisa. Tapi, liang lahat? Apa you sudah gila?" sambar yang lainnya.
"Ssst, jangan keras-keras", Zorta melirik kiri kanan. "Jangan sampai obrolan ini di dengar kuli tinta. Kalau mereka tahu, bisa dikecam habis-habisan. Apa lagi alasan kita nanti? Ini kan baru sekadar wacana.. " suaranya mendesis bagai ular.
Seorang di antara mereka yang telah melantak tiga botol bir dan sejak tadi bertingkah norak menggoda penyanyi di panggung, angkat bicara. "Ah, itu ide bagus, kawan. Kalian tahu, zaman sekarang kuburan sudah banyak digusur. Di bangun perumahan, pertokoan, atau pabrik. Padahal tiap hari ada saja yang mati. Nah, kalau giliran kita tiba, mau dikubur dimana? Kalian mau dikubur berdiri atau dilarung ke laut?!" Zorta mesem dalam hati. Meski menceracau, tapi kata-katanya barusan membuat mereka yang duduk mengepung meja itu terdiam.
* * *
Time goes on. Zorta telah disibukkan dengan urusan dinasnya. Ia tak lagi risau memikirkan liang lahat. Tiap hari ada saja masalah yang menguras tenaga dan pikirannya. Rapat-rapat melelahkan, mempertahankan posisinya agar tak digeser lawan politik, study tour ke kota lain, kongkow di cafe atau karaoke dengan alasan entertaint untuk mendapatkan proyek miliaran, dan, tentu saja, mengurus wanita simpanannya yang makin rewel menuntut itu itu.
Zorta terhenyak ketika sebuah kabar duka singgah di telinganya. Jam delapan malam, ia ditelepon seorang pejabat yang mengabarkan bahwa putranya baru saja meninggal. Zorta kembali teringat keinginannya yang lama terlupakan. Malam itu juga ia langsung menuju rumah rekannya. Zorta menyopir sendirian. Sepanjang jalan, bayangan tentang liang lahat bangkit kembali.
Kegelisahan makin kentara setibanya Zorta di tempat tujuan. Ia nampak linglung dan serba salah. Setelah mengucapkan belasungkawa pada rekannya, ia bersandar di salah satu kursi. Jika ada pejabat yang datang, ia tak banyak bicara. Hanya bersalaman sambil tersenyum kikuk, lalu kembali duduk. Tak juga dipedulikannya bisik-bisik yang mengatakan bahwa anak rekannya itu meninggal karena over dosis narkoba, tapi demi menutup aib, keluarganya beralasan meninggal karena sakit lever.
Zorta telah memutuskan. Besok, ia tak mau ikut mengantar jenazah. Ia trauma melihat deretan nisan yang berjejal-jejal seperti orang usiran tak berdaya di pengungsian. Ia adalah pejabat yang ditakuti dan bisa menakuti. Berada di kuburan akan mengingatkannya pada kematian, batas yang memisahkannya dari kehidupan. Padahal ia masih belum puas meminum air laut. Ia masih haus dengan nikmat dunia. Tidur diatas uang dan di perut perempuan, disanjung para penjilat yang mengelilinginya, dan selalu tertawa tanpa ingin menangis.
Zorta memang tak perlu bersusah payah datang ke pemakaman. Paginya, begitu bangun tidur, Zorta panik. Ada liang lahat menyambanginya, menari-nari di pelupuk matanya. Zorta mengucek-ngucek mata, menyangka ada kesalahan kecil dengan indra penglihatannya. Tapi sampai Zorta menggigil keringat dingin, bayangan seram itu tak juga mampus. Bahkan selalu menguntit kemanapun Zorta lari. Ia tak berani menceritakan keanehan itu pada siapa pun. Bisa-bisa ia dituduh gila. Sampai sekarang, liang lahat itu bersemayam dalam otak dan batin Zorta. Membuatnya semakin takut pada kematian.
***

Datah Suling


Cerita Pendek Korrie Layun Rampan
Tak sulit menemukan rumah itu meskipun di dalam kegelapan malam. Rumah panggung yang indah dibangun memanjang dengan arsitektur tradisional, menggambarkan kuatnya tradisi seni nenek moyang. Dulu pernah Rufi jelaskan tentang rumahnya, di kampung yang jauh, di Datah Suling sebuah kampung yang nun berada di kawasan Ulu Riam.
Tak terbayangkan, bagaimana kampung yang dikatakan jauh itu. Pengalamanku tak ada dalam hal mengarungi sungai, apalagi ruam yang ganas. Kata Rufi untuk mencapai kampungnya di udikan sana harus menempuh tiga riam yang seperti demit sangat rakus mengambil nyawa.
"Bagaimana mungkin kau bisa sekolah ke kota, jika kau harus menempuh begitu banyak riam yang ganas?" aku berkata seperti anak yang tolol. "Kau menghilir sendiri atau kau diantar oleh ayahmu?"
"Tentu saja diantarkan. Tak mungkin aku mendayung sendiri di sungai lebar lagi panjang itu. Perjalanan yang biasa saja bisa memakan waktu dua tiga minggu, apalagi kalau musim sedang tak bersahabat. Bisa-bisa hanya menunggu di riam saja mencapai sebulan lebih."
"Sebulan hanya menunggu di riam?"
"Kenyataannya begitu. Tak ada orang yang berani menghulu atau menghilir riam jika air lagi ganas. Maut selalu menunggu di setiap ulak aliran air dan celah batu."
"Tapi kau selalu selamat tiba di Samarinda?" aku tertawa memandang wajahnya yang jelita. "Kau tak pernah karam di riam itu?"
"Tak kuingin karam, Ku. Jangan kauharapkan aku celaka."
"Tak aku harapkan yang buruk padamu, Fi. Aku hanya ingin tahu pengalamanmu mengarungi riam."
"Memang pernah aku hampir mampus, karena perahu tergepak batu. Ayah memaksa menghilir karena vakanisku sudah berakhir. Tak ada cara lain untuk mengejar sekolahku di kota. Kecuali mengikuti arus yang mengerikan jiwa!"
"Kau dan ayahmu karam?"
"Tak sempat karam. Sampan sempat menggepak batu. Dan akhirnya Ayah putuskan memegang akar kayu dan menyangkutkan tali sampan ke batu. Sampan tertahan di tepi. Akhirnya dua minggu kami hanya menunggu di tepi dinding berbatu yang tinggi. Air menggila datang dari hulu. Tak seorang pun penghilir atau penghulu yang mampu melewati riam yang demikian panjang dengan air yang ditumpahkan dan diaduk-aduk para dewa angkara murka."
"Tapi akhirnya kau lepas juga dari air neraka itu?"
"Kalau tak, tak mungkin bertemu Dongku," bibirnya yang tipis sangat manis dalam pandangan mataku. "Saat itu beras bekal sudah habis dan api harus terus-menerus diinyalakan karena korek lembab semua. Hujan terus turun membuat udara dingin luar biasa. Sementara kayu amat susah didapatkan, karena tempat perahu ditambatkan hanya tersedia beberapa meter di seberang menyeberang sungai."
"Ayahmu tak menggunakan pematik api?"
"Udara lembab membuat penyala apinya basah. Bunga apinya tak mau menyambar penyala api. Sampai habis batu pematik karena digerusi besi, apinya tak dapat-dapat."
Sukar aku bayangkan cerita Rufi. Tak masuk akal gadis semanis bintang film harus mengalami kesulitan berjuang mempertahankan nyawa untuk mendapatkan selembar kertas ijazah. Namun, di lain bayangan, kalau tak begitu, tak ia jumpa dengan aku. Tak mungkin aku menikmati perasaan indah yang membuat aku merasa kaut berjuang demi masa depanku bersama gadis cantik Ulu Riam yang bernama Rufi.
Rufisari Ding Liah, sebenarnya, nama lengkapnya.
"Untungnya ikan mudah didapat," sambung Rufi dengan ceritanya yang memesona karena menyambung nyawa. "Mudah sekali dapatkan ikan dengan memancing. Tapi air? Harus digodok lama-lama agar tak kena kolera."
"Di riam juga banyak ikan?" suara tanyaku seperti pertanyaan anak SD.
"Tak di riam tak di sungai atau danau. Sebelum ada peracunan dan penyetruman, ikan di sungai dan danau sangat banyak. Tapi kini, semuanya tinggal kenangan, Ku."
"Tinggal kenangan?"
"Ya. Tak mungkin mancing seperti dulu. Bahkan pukat atau bubu yang bisa menjaring ikan akan sia-sia dipasang, karena ikannya habis mati diracuni dan diestrum dengan accu ."
"Pengalamanmu banyak dan di antaranya banyak yang menyambung nyawa. Kawasan tempat tinggalmu begitu susah. Lalu, apa rencamu di masa datang?"
"Kembali ke kampungku jika aku lulus sekolah. Membangun rumah di kampung kebanggaan nenek moyang. Membangun kesehatan masyarakat."
"Suamimu? Mau ia kau boyong ke kampung yang jalan menujunya begitu susah?"
"Kau suamiku, Ku. Kau telah katakan kau mau ikut aku kembali ke Datah Suling setelah kita menikah?"
Aku seperti tersedak kenangan percakapan lama. Tiga tahun yang lalu percakapan itu terjadi, saat aku akan berangkat ke Jakarta karna mendapat tugas baru di jajaran redaksi, dan Rufi menyiapkan dirinya sebagai perawat yang akan bertugas di Long Pahangai. Ia segera akan merampungkan pendidikan keperawatan di Samarinda, dan karena terikat beasiswa, ia harus kembali ke kampung asal, menyelesaikan ikatan dinas, dan baru boleh sekolah lagi, atau pindah bekerja di tempat lain, jika ia menginginkan.
Rasanya baru kemarin aku berpisah dengan Rufi. Serasa masih terbayang di dalam bola mataku saat ia memeluk dengan tarian gong di tengah upacara pembukaan Erau yang diadakan di Tenggarong. Dari situlah aku mengenal gadis itu, karena sebagai koresponden Koran Jakarta, aku lakukan wawancara dengan gadis penari. Selebihnya, setelah selesai wawancara, aku selalu datang ke asrama tempat ia mondok, dan dari situ terjalin hubungan yang lebih dari responden dengan pewawancara. Bahkan, aku berjanji, jika nanti aku sudah bisa ambil cuti, dan pulang dari Jakarta, aku akan datang melamarnya di kampungnya di Datah Suling.
Akan tetapi selama tiga tahun ini tak pernah aku datang. Bukan karena tak ada cuti yang bisa diambil, tapi karena surat-suratku tak pernah satu pun yang dibalas Rufi, setelah suratnya yang terakhir menyatakan bahwa ia telah pulang ke Datah Suling karena segera bertugas di Long Pahangai.
Aku menjadi gamang sendiri. Adakah ia telah menemukan lelaki lain di kampung halamannya? Kalau aku langsung datang ke sana , apakah tidak akan membuat persoalan, kalau ia sudah bersuami? Tentu suaminya akan cemburu, dan aku harus menanggung risiko yang berat oleh sanksi adat. Kutahu puak yang melahirkan Rufi adalah suku yang dahulu menganggap diri mereka pahlawan karena begitu berani dan mahir bertarung di dalam perang menganyau. Apakah aku akan tinggal nama karena terpenggal leher oleh keluarganya yang merasa terhina, karena ada lelaki lain yang datang tanpa diundang? Tentu mereka akan membela sang suami demi solidaritas, sopan santun adat, martabat, dan gengsi sebuah puak?

Akan tetapi sudah bersuamikah Rufi?
Kalau belum? Kalau ada suatu yang terjadi? Kalau ia hanya malas membalas surat-suratku? Tak ada waktu? Atau tak bisa mengeposkan surat itu dari Datah Suling? Dari Long Pahangai?
Rasanya tidak mungkin. Bukankah Long Pahangai merupakan ibu kota kecamatan. Ada camat, ada petugas lainnya, dan mungkin juga ada kantor pos. Kalau tidak, camat atau aparat kecamatan pasti akan berurusan ke ibu kota kabupaten, atau ke provinsi, bukankah Rufi dapat menitipkan surat lewat petugas itu untuk diposkan di Tenggarong atau Samarinda?
Tapi aku tak pernah tahu persis kondisi Long Pahangai atau Datah Sulung. Apakah Long Pahangai itu sebuah kota ? Sebuah kampung? Seberapa lengkap sarana yang ada yang dimiliki kecamatan? Memang adakah kantor pos di situ? Mengingat letaknya yang nun berada di Ulu Riam, tentu sarana di sana amat terbatas, karena transportasi yang ada hanya melewati jalur jalan air. Jika pun ada kantor pos, apa peralatan angkutan untuk membawa surat-surat itu ke kota ? Apakah kantor pos itu memiliki speed-boat atau long-boat sendiri?
Aku telah tiba di rumah Rufi.
Gelap malam dibiasi cahaya bulan yang agak benderang jika telaunnya langsung jatuh ke tanah. Pada bagian rimbunan pohon tinggi dan rumpun pisang, cahaya bulan itu menciptakan bayang-bayang yang melegam, seakan-akan ada tarian para peri yang penuh kerahasiaan memusar ke dalam bumi. Suasana yang senyap membayangkan suatu wilayah yang terasing dan terisolasi dari dunia luar. Seakan-akan kampung tercapak di ujung dunia, dan Rufi adalah gadis alam yang berkutat dengan penjara hutan rimba.
Kuucapkan salam. Hanya senyap membayang di seluruh ruang rumah. Suaraku seperti membentur gua labirin yang seram. Kuseru lagi berkali-kali. Lama aku menanti sampai akhirnya kudengar ada gegas langkah menyongsong ke arah pintu.
Kuulurkan tangan untuk memberi salam. "Benarkah ini rumah Rufi?"
Orang yang menyongsongku itu meneliti wajahku. "Kalau Rufisari Ding Liah, benar. Saudara ini ada keperluan apa malam-malam bgini?"
"Ingin bertemu dengan Rufi."
"Tapi ia tak mau ditemui lelaki siapa pun. Kecuali...."
"Kecuali siapa?"
"Kecuali Dongku Laiq Puti."
"Ia sudah bersuami? Mengapa tak mau ditemui lelaki?"
"Belum. Karena hanya Dongku Laiq Puti yang pernah berjanji akan datang kemari. Tapi itu sudah tiga tahun yang lalu, sampai...."
"Sampai apa?"
"Sampai riam membuat bencana!"
"Bencana?"
"Ya. Sampai kedua kaki Rufi harus diamputasi. Karena riam."
"Kalau begitu, izinkan aku menemuinya. Akulah Dongku Laiq Puti."
"Ya. Aku pernah berjanji dengan Rufi tiga tahun yang lalu, sebelum aku dimutasi dari Samarinda. Aku akan datang melamarnya. Tapi surat-suratku tak pernah berbalas. Apakah Rufi pernah menerimanya?"
Lelaki itu tampak mengerutkan keningnya. Dalam tamaran cahaya pelita, wajahnya begitu lusuh dengan rambut yang hampir seluruhnya berwarna kelabu. Warga lain yang rupanya akan segera pergi tidur, merubung ke tengah rumah. Mereka bergalau dengan kata-kata dan suara yang tak aku mengerti.
"Aku ayah Rufi," lelaki tua itu menarik tanganku membawa ke sebuah kamar di arah tengah. Rufi ada di dalam...."
Dalam tamaran cahaya pelita aku terpana melihat wajah kekasihku. Sama dengan kejelitaan wajah tiga tahun yang lalu, namun lebih tirus, mungkin karena derita.
Di depan ayahnya aku peluk ia penuh gairah, seperti dahulu aku peluk ia ketika harus berpisah di Lapangan Udara Sepinggan di Balikpapan. Ia nekat mengantarku bersama temannya Bulan Lung Uray, rekan seangkatannya di sekolah perawat.
"Aku hanya berkaki palsu, Ku. Riam mengambil kedua kakiku saat bertugas mengantar pasien yang harus dioperasi di Samarinda. Riam yang kukisahkan dulu padamu, agak ke hilir tempat aku dan Ayah pernah menanti ganasnya air selama dua minggu," suaranya terdengar sayu.
Tenggorokanku terasa kering.
"Lama aku penasaran mengapa surat-suratku tak kau balas, selepas aku katakan pulang ke Long Pahangai. Tapi setelah petaka datang padaku dan nahas lain menimpa seorang pengusaha kayu. Lirung Apuy Suling, yang kupercaya mengepos dan mengambil surat-suratku tewas tergencet kayu gelondong di riam tempat aku terbencana, rupanya baru diketahui surat-suratku dan suratmu selalu didekapnya. Suratku tak diposkannya dan suratmu disimpannya, tak disampaikannya kepadaku."
"Untuk apa?"
"Ia pernah melamarku. Tapi kukatakan aku sedang menanti Dongku Laiq Puti."
"Tapi mengapa kaupercaya ia mengambil dan mengepos surat-suratmu?"
"Ia itu masih saudara sepupuku dari Ibu. Tak mungkin aku terima lamarannya karena ia sudah punya istri. Lagi pula aku hanya mencintai Dongku."
"Mencintai aku?"
"Ya"
"Itulah aku datang ke sini. Aku ingin melamar kau jadi istriku."
"Tiga tahun lalu aku sudah terima lamaranmu. Tapi kini kakiku sudah diamputasi. Bukan kedua betis yang kaupuji dulu saat kita jalan-jalan di kompleks pertokoan Citra Niaga Samarinda. Kakiku sudah tak ada keindahannya lagi karena berupa sambungan untuk menyambung hidup."
"Aku tak melamar kaki, aku melamar Rufi Ding Liah. Bagiku kau yang dulu adalah kau yang kini. Tak ada perubahan."
Kulihat wajah Rufi tampak sayu. Cahaya pelita yang agak redup menambah kesayupan itu menjadi mendung yang murung.
"Ingin aku kau dulu datang lebih cepat. Tapi Lirung membuat semuanya jadi bencana. Mungkin kakiku tak begini jika surat-surat kita tak ditahannya, karena ia menginginkan aku."
"Tapi itu sudah lalu, Fi. Kini aku sudah datang. Kita rencanakan masa depan."
"Aku kasihan kau, Ku. Bagaimana mungkin kau bawa aku ke Jakarta dengan kakiku hanya rangka? Maluku melebihi malumu."
"Tak aku malu, Fi. Tak."
"Itu katamu kini. Kalau kau sudah disusahkan aku dengan kursi roda dan segala kebutuhan hidup, kau akan menyesal, Ku."
"Menyesal...? Menyesal itu ulah orang tak berprinsip, Fi. Sesal harus diucapkan di depan, jangan di belakang."
"Tapi kau akan menderita, Ku."
"Lebih menderita jika kau tolak aku. Lebih menderita jika aku tak bersamamu, Fi."
"Itu karena Dongku sedang bersamaku disini. Kalau jauh...?
"Tidak, Fi. Tak akan begitu."
Udara malam terasa isis. Kawasan pehuluan ini memang berudara bersih, jauh dari polusi. Terang cahaya bulan di luar seperti mengantarkan angin yang membawa berkah.
"Jika dulu kau datang lebih cepat, kau dapat lihat orang-orang ambisius merebut keuntungan dan menimbun harta untuk diri pribadi dari uang negara. Tapi kesehatan dan pendidikan tertinggalkan. Sampai aku hampir mampus, karena Puskesmas tidak memiliki peralatan yang memadai. Aku harus bertarung dengan segala kekurangan dan kesusahan untuk mentahirkan orang-orang sakit. Sebenarnya yang lebih parah adalah penyakit mental, Ku."
"Tapi aku hanya ingin kau, Fi. Bagiku hal lain, biarlah mereka yang mengurusnya. Aku hanya ingin mengurus Rufi."
"Itu tak mungkin, Ku. Aku rasanya tak mungkin ke luar dari sini. Meskipun kakiku diamputasi, aku masih dibutuhkan orang-orang sakit. Mereka dapat datang kemari jika demam atau terkena flu. Mereka dapat datang ke sini jika terluka kena beliung dan sakit encok. Mereka akan datang ke sini jika anak-anak cacingan atau balita kekurangan gizi."
"Tapi di sini ada dokter dan perawat yang menggantikanmu, Fi. Lebih penting bagiku kau pelihara kesehatanmu sendiri. Di Jakarta kita bisa buat kaki yang bagus dan memenuhi syarat kesehatan, sebagaimana kakimu dulu. Bahkan, kalau kau mau, kita bisa bikin kakimu di Singapura."
"Terima kasih, Ku. Aku sudah merasa hidup, karena aku dibutuhkan di sini. Yang kusedihkan, pasienku yang harus dioperasi justru mati tenggelam bersama enam orang keluarganya yang mengantar. Tujuh dengan tenaga medik lelaki yang ikut bersama kami. Long-boat yang membawa kami membentur batu sebesar gajah dan membuat lunas pecah di ulak yang ganas. Jika hanya aku yang selamat, itu benar-benar suatu keajaiban.
"Keajaiban itulah yang membuat Rufi harus ikut aku ke Jakarta. Kita bangunkan kehidupan baru di sana. Kau bisa lakukan praktik di rumah, seperti beberapa istri temanku yang juga perawat. Di Jakarta banyak sekali pasien, karena di sana ada lebih dari tiga belas juta manusia."
"Senang sekali aku kau datang, Ku. Senang sekali aku tahu kau tetap mencintaiku. Tapi dulu kau katakana akan ikut aku ke Datah Suling. Mengapa aku harus ikut ke Jakarta?"
"Sementara ini kita hidup di Jakarta. Kalau sudah ada modal, kita akan kembali ke sini, Fi. Kau bisa buka klinik dan toko obat. Kau bisa terus bekerja memperbaiki gizi dan dan membangun kesehatan masyarakat."
"Indah sekali mendengarnya, Ku. Tapi yang tak indah adalah kesusahan yang akan kau tanggung, Ku. Aku akan sangat menyusahkanmu."
"Kita dapat gaji perawat. Tak apa perawat dirawat perawat, Fi."
Kulihat wajah Rufi makin murung. Keindahan hutan, sungai, danau, laut dan riam yang luar biasa dilihat dalam gambar dan film, ternyata mampu membawa bencana. Bahkan aku sempat memotret keindahan pancuran air yang datang dari celah batu di riam yang mencelakakan Rufi, tak terpikirkan bahwa dataran air yang indah namun ganas itu telah mengambil kaki kekasihku. Karena tergepak dan terhempas ke batu dan tertindih lunas berikut kampar kayu, kedua kaki Rufi patah. Yang tersisa ujung kedua pahanya yang kadang kalau diinginkan bisa disambung dengan kedua kaki palsu.
Memang menyakitkan segala yang palsu. Bukankah kepalsuan adalah tumbal dari keaslian? Tapi Rufi? Tak ia inginkan kepalsuan, hanya tekad nasib membawanya untuk mengorbankan dirinya demi kesehatan dan kesembuhan orang lain. Suatu yang mulia tiba-tiba berubah menjadi marabencana!
"Tak apa memang, Ku. Tapi aku kadang berjanji pada diriku sendiri. Aku akan terus berjuang untuk warga di sini. Inginku segera ada jalan ke kabupaten agar pasien tidak lagi harus mati di riam sebelum mencapai rumah sakit. Inginku segera ada Puskesmas yang lengkap peralatan mediknya. Inginku diperbanyak tenaga kesehatan. Biarlah aku jadi lilin yang habis membakar dirinya sendiri, Ku."
Tak terasa jika percakapan kami menemukan fajar pagi. Selama tiga hari aku membujuk kekasihku, namun jawabannya selalu sama.
"Sudah aku korbankan kesenangan dan keinginan pribadi, Ku. Tak lagi aku bisa meliuk di atas lantai tarian karena kakiku diamputasi. Bukankah kau ingat, kita sampai bertemu dan berkenalan karena aku sebagai penari? Setelah diamputasi, tak mungkin aku mampu berdiri. Tapi aku masih bisa hidup karena aku dapat menyalurkan keahlianku untuk mengobati orang sakit. Itu suatu anugerah."
"Tapi bagiku, kau utuh seluruh, Fi."
"Kau berilusi, Ku. Kau hanya jangan hidup dalam imajinasi. Kau harus hidup di dalam kenyataan."
"Aku sudah bertemu dengan kenyataan, Fi. Kita menikah. Kau bisa tetap di sini. Aku sementara tinggal dan bekerja di Jakarta. Kita bisa buat rencana kemudian setelah kita pikirkan apa yang kita kerjakan selanjutnya."
"Tak mungkin, Ku. Kita tak bisa menipu diri sendiri. Apa yang bisa kau kerjakan di sini? Menerbitkan Koran?"
"Aku bisa menulis buku, Fi."
"Itu juga ilusi. Kau kirim ke mana naskah-naskahmu? Dengan peralatan apa? Komunikasi ke luar tertutup di kampung ini!"
"Setahun empat kali aku ke kota kirimkan naskah, Fi. Yang penting kita menikah."
"Tidak, Ku. Kasihan kau akan menderita. Tempatmu bukan di sini, tempatmu di kota di dalam pekerjaanmu sebagai wartawan. Tak mungkin seseorang yang biasa melanglang buana ke mancanegara kok dipenjara di dalam hutan riam?"
Hampir habis argumentasiku untuk mengajaknya menikah. Hampir habis akalku untuk mengajaknya ke Jakarta . Hampir habis kata-kata dan kalimatku untuk meraih cintanya yang dahulu, meskipun katanya cintanya padaku tambah menggebu. Cintanya itulah yang membuatnya mampu terus hidup, meskipun kedua kakinya sebenarnya dapat segera membuat ia mati.
"Jadi kita bisa menikah?" kutatap bola matanya pada hari ketiga.
"Tidak, Ku. Aku mencintaimu, tapi aku tak mampu menipu diriku sendiri. Kau memerlukan wanita yang sehat dan sempurna, bukan aku yang kehilangan dua kaki."
"Tapi ku inginkan kau, Fi. Kau seluruhnya. Kau yang kini tanpa kaki."
"Tidak, Ku. Kau membutuhkan seorang wanita yang utuh."
"Tapi bagiku kau utuh, Fi."
"Kau mendustai dirimu sendiri, Ku."
"Cinta mengatasi segalanya, Fi."
"Cinta saja tidak cukup, Ku. Cinta memerlukan bahagia."
"Aku akan berbahagia bersamamu. Kita berdua akan selalu berbahagia, Fi."
"Tidak, Ku. Kau temukan aku karena kakiku utuh menari. Kini kau temukan aku sudah kehilangan kaki. Jadi, tak mungkin kau merasa cintamu utuh karena aku bukan lagi Rufisari Ding Liah yang dahulu. Aku kini wanita perawat yang hanya berjalan dengan tekad dan semangat."
"Jadi?" suaraku hampir parau karena kekuarangan tidur dan terlalu penuh pikiran. "Kau inginkan apa aku?"
"Pulanglah ke Jakarta. Kenanglah aku di dalam doa-doamu. Senantiasa aku menyebut namamu di dalam doa-doaku. Kita saling mencintai, tapi kita harus saling berpisah, Ku."
"Mencintai tapi berpisah...? Jadi...?"
Hampir tak kusadari bahwa di depanku sebuah lukisan riam yang kuminta kawanku, Ipe-- pelukis ternama -- melukiskannya secara istimewa di mana kekasihku tampak lumpuh kehilangan dua kaki di tepi air yang ganas di antara batu-batu sebesar gajah dan kerbau liar di hutan liar. Hanya matanya tampak bercahaya, lebih dari sorotan matahari di titik kulminasi. Di lukisan itu, mataku hampir seluruhnya selalu tertuju ke situ.
Surat-surat Rufi dari Datah Suling, selalu kuterima dan menguatkan aku akan masa depan yang mungkin kami bina masing-masing. Meskipun tanpa kaki, Rufisari Ding Liah terus dijunjung tinggi, begitu sangat berharga bagai mutiara dan intan permata bagi kampung halamannya.
Lalu aku...? Dalam mataku riam nasib yang terjal terus menderu!

Senin, 23 April 2012

Lingkaran Luka


Pandapotan MT Siallagan
RUMAH mungil berdinding gedek itu dikelilingi beberapa jenis pohon seperti kemiri, jambu air, rambutan, kakao, dan rumpun-rumpun pisang. Agak jauh ke belakang, membentang lahan luas yang sebagian dikelola dan sebagian lagi terbiar. Pada lahan yang dikelola itu, tumbuh beragam tanaman seperti jagung, cabe, ubi dan kacang-kacangan. Tanaman-tanaman itu tampak subur dan berwarna hijau, seperti berkisah tentang kecekatan pemiliknya bercocok tanam. Dan pada lahan yang terbiar itu, melebat beragam rumput dan semak-semak. Sesungguhnyalah ada sejarah luka yang meruap dari rumah, pohon, rumput dan semak–semak itu.
“Masih kaukenangkah kampung itu?” Suara itu menggelegar, menyusupkan segala getar ke dalam dada saya.

”Masih. Saya masih mengenang segalanya. Tapi, tolong jangan kepung saya dengan luka,” kata saya sambil menutup mata. Saya tidak sanggup menatap sosok asing bermata tajam dan bersuara berat itu. Saya juga tidak paham mengapa ia bisa berada di dalam kamar saya pada malam ini, pada saat hujan menderas. Berkali-kali saya mencubit lengan untuk memastikan bahwa saya tidak sedang bermimpi. Dan benar, saya tidak sedang bermimpi. Saya tadi terbangun oleh petir yang menggetar, seolah-olah sebuah martil raksasa telah dihantukkan ke dinding rumah saya. Dan pada saat terbangun itulah saya menemukan sosok itu sudah berada di kamar saya, duduk di salah satu sudut.

”Tapi, siapakah Anda, Tuan?”

 ”Saya adalah ingatanmu. Maknailah!”
Bedebah! Keangkuhan sosok asing itu membuat saya sangat marah. Tapi, sekejap kemudian, amarah saya reda karena rumah mungil dan kampung itu muncul lagi dalam penglihatan saya. Atapnya penuh dengan daun-daun gugur, seperti telah terjadi angin topan. Di sisi kiri rumah itu, terdapat sebuah kandang yang dirancang dari batang-batang bambu dan di dalamnya hidup banyak ayam. Pada saat saya saksikan, ayam-ayam itu sedang berhamburan dari kandangnya. Jantan-jantannya berkokok, induk-induknya bersegera mencakar-cakar tanah, mencari makanan, dan anak mereka terciap-ciap. Lalu, seorang anak kecil tiba-tiba keluar dari rumah mungil itu, menenteng jagung pipil dan nasi basi, melemparkannya ke halaman. Maka berebutlah ayam-ayam itu menyantap sarapan pagi yang disuguhkan tuannya kepada mereka. Saya kaget. Apakah saat ini hari memang sudah pagi? Dan kekagetan itu makin menggila ketika saya mengamati anak kecil yang memberi makan ayam-ayam itu. Ia mirip seperti saya ketika kanak-kanak.

”Masih lekatkah peristiwa itu dalam ingatanmu?” Sosok itu bertanya lagi, dengan suara yang lebih menggelegar, memporak-porandakan kesadaran saya. Saya mulai merasa takut.

”Masih. Saya masih mengingatnya, Tuan. Tapi, tolong jangan kepung saya dengan luka,” kata saya sambil berusaha melirik jam dinding: pukul 03.13 WIB. Astaga, hari ternyata masih sangat dini. Dari kejauhan, lamat-lamat terdengar suara katak bersahut-sahutan dan saling memburu dengan gemuruh hujan yang menetes-netes dari genteng. Angin menderu, dan kudengar daun-daun pepohonan saling bergesek, seperti mempersembahkan tarian gaib pada malam. Saya makin tidak paham dengan apa yang terjadi. Saya cubit lagi lengan saya, sakit. Saya benar-benar tidak sedang bermimpi. Tapi, siapa dan untuk apa sosok keparat ini hadir di kamar saya? Apakah ia seorang perampok yang ingin menghabisi nyawa saya tapi terlebih dahulu mempermainkan saya dengan tindakan-tindakan aneh? Tapi, apa yang ia inginkan di rumah saya yang jorok dan melompong ini? Tak ada apa-apa di rumah ini selain kesunyian. Dan, apapun resikonya, saya putuskan menghajarnya. Tapi, ketika saya hendak bangkit dan mendaratkan tendangan di perutnya, ia berkata, “Saya bukan maling”.

Saya tersentak. Saya gemetar. Tubuh dan seluruh tulang-tulang saya terasa panas. Saya menggigil.

”Tuan, tolong jangan kepung saya dengan luka,” suara saya bergetar.

”Saya tidak melukai Anda. Tapi saya adalah luka Anda sendiri. Hayatilah!”
Maka penglihatan saya akan rumah mungil dan kampung itu melintas lagi. Sekarang, seorang wanita separuh baya keluar dari pintu belakang, membawa sapu lidi. Wanita itu lalu menyapu halaman, mengumpulkan daun-daun gugur. Dan ketika wanita itu membakar sampah dan daun-daun gugur pada sore harinya, saya melihat bukan asap yang membubung, tapi semacam kesedihan. Saya mencium bukan uap asap yang meruap, tapi semacam kenangan. Lalu, serpih-serpih kehilangan menguap ke angkasa dan mencoreti langit dengan segala yang habis, terbakar oleh waktu.

”Masih kau ingatkah wanita itu?” sosok asing itu bertanya lagi.

 ”Tidak.”

 ”Masih kauingatkah wanita itu?” suara sosok asing itu mengerang marah, seperti tahu bahwa saya sedang berbohong. Saya gemetar, semakin ciut didera rasa takut.

 ”Ya,” kata saya akhirnya, “Dia bekas ibu saya.” Pada saat itu, saya tiba-tiba merasa sangat sakit, seolah-olah telah ditikamkan ratusan pisau ke sekujur tubuh saya. Dan, rasa sakit itu semakin menggila ketika sosok asing itu mencambuki tubuh saya.

 ”Tuan, tolong jangan kepung saya dengan luka.”

 ”Saya tidak melukaimu. Saya hanya ingin menyelamatkan hidupmu dari kutukan.”
Lalu seorang lelaki kurus berkulit legam keluar dari rumah mungil itu. Ia menghampiri istrinya dan berkata, “Tak guna kau bersihkan halaman ini, Istriku. Biarkanlah kesedihan dan kenangan itu berserakan. Tak guna kau membakarnya, sebab masa lalu yang membubung itu akan membuat nafasmu semakin sesak.”
Pada saat itu, lelaki kecil yang memberi makan ayam-ayam itu datang menghampiri suami-istri itu. “Ayah, Ibu, ayam-ayam itu sudah kenyang disuapi tanganku. Mereka mengucap syukur dan berdoa untuk kesehatan Ayah dan Ibu.”

”Kata-katamu beracun benar, Anakku. Kelak, bukan hanya doa binatang yang kau sampaikan menghina orang tuamu. Tapi kau mungkin akan membunuh ayahmu dengan kebuasan binatang.”

”Tidak. Aku tidak mungkin membunuh ayah…”
Penglihatan saya tiba-tiba dibuyarkan oleh sosok asing itu. “Sekarang, kau bahkan tak merasa bersalah setelah bertahun-tahun membunuh ayahmu. Kau juga membiarkan ibumu menderita dalam kesepiannya,” katanya.

 ”Tuan, tolong jangan kepung saya dengan luka.”
***
HUBUNGAN saya dengan ayah berlangsung seperti sebuah tragedi kebohongan. Saya, anak yang selalu dididik menjadi orang soleh, selalu menangkap kejahatan dan kebusukan justru hadir dalam setiap prilaku ayah, orang yang selalu memberi saya berbagai nasehat. Sejak kecil, mungkin sejak saya ingat saya ada, ayah selalu bercerita pada saya. “Nak, kita hidup di sebuah negeri yang makmur. Negeri yang memberi banyak kemungkinan berbahagia kepada banyak orang. Kelak, jika kau sudah besar, akan kau lihat negerimu ini sesak diserbu para pemburu. Kau juga akan sadar betapa tak jelas batas antara pemburu dan buruan. Pemburu-pemburu itu, anakku, muncul dengan wajah anjing, babi, dan binatang-binatang aneh lainnya. Dan kita adalah buruan itu, manusia-manusia tak berdaya. Jadi, anakku, kau harus bisa jadi lelaki kuat, agar kelak pemburu-pemburu itu bisa kauusir dari tanah kita. Dan ingat, mintalah kekuatan itu dari Allah. Tidak akan terberkati hidupmu jika kau tidak menghadapkan wajahmu kepada-Nya.”

Tapi, suatu malam, kebanggaan saya pada ayah runtuh. Saya selalu ingat peristiwa itu, sebuah peristiwa yang membuat saya terjebak pada perbatasan antara takut dan rasa marah. Semuanya bermula ketika seseorang mengetuk pintu rumah kami. Malam itu, ibu saya sudah tidur. Dan saya yakin, ayah pasti menduga bahwa saya juga sedang lelap memeluk mimpi. Setelah ayah membukakan pintu, saya kemudian mendengar percakapan serius berlangsung antara ayah dan tamu itu. Dari percakapan mereka yang lamat, saya tahu bahwa ayah, bersama tamu itu, sedang berencana merampok tanah seseorang dengan cara yang mungkin hanya mereka berdua yang tahu. Saya memang masih kecil, tapi karena ayah selalu menasehatkan kepada saya bahwa tindakan mencuri dan merampok adalah najis di mata Allah, saya tahu ayah saya telah melanggar sendiri nasehat-nasehatnya. Saya marah, geram, dan ingin sekali menampar ayah. Dan kemarahan itulah kemudian yang mendorong saya mengintip dari lubang kunci untuk mencari tahu siapa gerangan tamu itu. Astaga, tamu itu ternyata kepala desa. Kemarahan saya makin tinggi. Selama ini, warga di kampung kami selalu menghormati kepala desa itu sebagai orang yang baik, agung dan bertanggungjawab terhadap warganya. Dan, tiba-tiba saja wajah kepala desa itu saya lihat seperti anjing, dan wajah ayah mirip babi. Saya benar-benar menonton percakapan rahasia yang berlangsung antara dua binatang.
Pada hari-hari selanjutnya, saya tidak tahu bagaimana kehidupan kami berubah. Rumah kami yang terbuat dari bambu dan beratap rumbia itu berubah menjadi rumah cantik. Ayah membelikan saya  sebuah sepeda. Ibu saya, wanita molek itu, makin molek karena baju-bajunya makin bagus. Ada kalung emas melingkar di lehernya. Dan pada jari manis dan tangannya, melingkar cincin dan gelang-gelang berkilauan. 

 ”Lihat, Nak, Allah telah memberi berkat yang luar biasa kepada kita. Maka, kau harus lebih taat beribadah, dan teruslah menjadi anak yang tidak tercela di hadapan pencipta. Semua ini berkat doamu, Nak.”
Pada saat itu, saya sudah duduk di bangku SMP. Saya tidak mengiyakan nasehat ayah, tapi tidak juga membantah. Tapi, karena sebelumnya saya selalu antusias mendengarkan nasehatnya, ayah dengan segera mengetahui bahwa saya tidak lagi menyimak nasehatnya.
 Ayah marah. “Kau sudah mulai menantang ayahmu. Tahukah kau apa hukuman bagi seorang anak yang membantah orang tua?”
Seminggu kemudian, tanpa ada pemberitahuan sebelumnya, saya dikirim ke kota. Supaya saya makin pintar, kata ayah. Supaya saya tahu bahwa tata krama terhadap orang tua harus tetap dijalankan. Dan sejak itu, saya tidak pernah pulang kampung kecuali pada saat saya datang dengan diam-diam ke desa itu dan membunuh ayah saya tanpa seorangpun yang tahu. Saya tidak tahu kenapa saya begitu tega melakukan hal itu. Sebelumnya, saya ketahui melalui televisi bahwa kampung saya selalu disesaki kabut asap yang bersumber dari hutan yang terbakar. Pada kesempatan lain, saya dengar bahwa anak-anak di kampung kami banyak yang mati kelaparan dan sebagian lagi tersiksa didera penyakit. Saya dengar juga bahwa sungai-sungai tidak lagi mengalirkan air, tapi racun. Lalu saya surati ibu saya. Saya tanyakan kepada ibu apa-apa saja yang telah diperbuat ayah sehingga malapetaka itu bisa terjadi. Ibu menceritakan dalam suratnya bahwa ayah melakukannya bersama orang-orang yang dulu dikecamnya sebagai pemburu. Sekarang ayahmu juga tidak sayang lagi kepada ibu. Dia sekarang sudah sering membawa pelacur ke rumah kita, baik laki-laki maupun perempuan, para pemabuk dan orang-orang aneh yang selalu membuat rumah dan kampung kita jadi gaduh. Ibu sedih, Nak. Ayahmu tidak bisa lagi saya nasehati. Ia makin sering menampar ibu. Kalau bisa pulanglah, ibu rindu padamu, kata ibu mengakhiri suratnya. Lalu, saya pulang, membunuh ayah saya. Setelah itu, saya kembali lagi ke kota, mengembara seperti sedia kala.
Setahun setelah kematian ayah, saya pulang menjenguk ibu. Saya temukan ibu sedang sakit. Tubuhnya kurus sekali. Saya sedih. Saya menangis. Tapi, dengan suara lantang, ibu saya meradang. “Pergi kau, anak jahanam. Ketika ayahmu meninggal, kau tidak pulang. Sekarang, setelah kuketahui bahwa kaulah pembunuh suamiku, kau datang. Meskipun orang-orang tidak tahu bahwa kaulah pembunuh itu, tapi Tuhan selalu memberitahu hal itu setiap malam, lewat mimpi-mimpiku. Sekarang, pergilah untuk selamanya. Kau bukan anakku lagi.”
Saya pergi, dan tidak pernah berusaha untuk pulang. Meski begitu, ingatan saya akan kampung halaman selalu membuat saya tersiksa. Tersiksa karena ingatan yang berkelebat itu justru bercerita tentang masa-masa ketika keluarga kami masih miskin, ketika setiap pagi saya harus bangun lebih awal, memberi ayam-ayam makan, lalu pergi ke sekolah. Masa ketika ibu masih rajin menyapu halaman dan memunguti buah kemiri dari bawah pohonnya. Masa ketika ayah sering mengeluh tapi tetap semangat menjalani pekerjaannya sebagai petani. Masa sebelum perampok dan pemburu itu tiba di desa kami dan akhirnya mengajari ayah saya jadi pemburu, perampok dan penjahat yang menyiksa sendiri kaumnya. Masa penuh cinta yang sampai saat ini tak sanggup saya lupakan. Dan, ingatan itu adalah rangkuman. Rangkuman peristiwa yang dimulai dari suatu kehidupan yang murni, merangsek, dan sampai pada kehidupan suatu puak yang terampas, terhempas.
*****
DI luar, hujan masih terus menderu. Angin bertiup kencang. Malam menjelang pagi hari ini terasa sangat berisik, seperti sebuah isyarat betapa gaduh hidup yang telah saya pilih. Betapa durhaka dan terkutuk sikap yang telah saya ambil sebagai manusia. Saya kenang lagi masa kecil itu, tanaman-tamaman yang mengelilingi rumah itu, ladang itu, semak-semak itu, ibu-ayah saya, juga orang–orang kampung yang tak pernah bebas dari penjara kemiskinan. Saya kenang lagi pantun-pantun yang selalu didendangkan ibu ketika saya masih kecil. Saya kenang lagi malam-malam di mana ayah saya mengajari saya menggambar perahu. “Nak, coba lukis Lancang Kuning,” kata ayah. Tapi, ketika gambar yang menurut saya sangat cantik itu saya tunjukkan, ayah berkomentar, “Belum sempurna, Nak. Kau lupa membuat motifnya. Itik Pulang Petang-nya mana, Akar Pakis-nya mana?”
Saya kenang segalanya. Saya tiba-tiba menangis. Saya belum pernah sesedih ini. Dan, saya rindu sekali bertemu ayah. Saya ingin pulang menjenguk ibu. Saya berdoa. Inilah untuk pertama kalinya saya teringat kepada Allah setelah melupakan-Nya berpuluh-puluh tahun. Saya sujud.
Dan, tiba-tiba tubuh saya dicambuk. Wajah saya ditampar. Bedebah, siapakah yang berani berbuat kurang ajar seperti ini kepada saya dan di rumah saya? 

”Saya, sayalah yang mencambuk tubuhmu,” suara sosok asing itu menggelegar, “Selama ini, saya sudah mendatangi kamu berkali-kali, tapi pintu rumahmu selalu tertutup buat kelembutan. Sudah saya panggil kamu dengan bahasa paling halus, tapi telingamu selalu terkunci. Sekarang saya datang dengan cara yang kamu inginkan. Sekarang saya ingatkan lagi kepadamu: sejahat apapun sesamamu, jangan hakimi. Dan kamu, kamu telah membunuh ayahmu karena kesalahannya. Apa kamu pikir dengan membunuhnya tanahmu akan luhur lagi, puakmu akan berjaya lagi. Sudah saya ajarkan kepadamu segala pengertian dan kasih sayang, tapi kamu tidak mendengarnya. Sudah saya ajarkan kepada kamu bahwa ibu adalah Tuhan di dunia kecil bernama rumah, tapi kamu siksa ibumu sedemikian rupa. Sekarang saya telah datang dengan cara yang kamu inginkan. Rasakanlah!” kata sosok asing itu sambil mecambuki lagi tubuh saya, lebih keras dan lebih cepat. Saya mengerang, menjerit, memohon-mohon ampun kepada sosok asing itu. 

”Tuan, tolong jangan kepung saya dengan luka.”
Tapi cambukan itu terus berlanjut. Saya ambruk. Dan segalanya menjadi lindap.
***

Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto Saya
Nama nabil taqiuddin madjid, paling suka bareng sama nisa temenan sama nisa pokoknya bareng nisa terus wkwkwkwk