Pages

Senin, 23 April 2012

Mata yang Berlabuh


Cerita Pendek Muhamad Adji
Matahari kelabu. Udara bisu.Tak ada suara lengkingan renyai yang menyeruak seperti biasanya setiap kali ia jejakkan kaki di daratan yang berpasir. Tidak pula suara perempuan yang lantang, yang dengan lari-lari kecilnya, menghalau anak yang berlarian di depannya itu dari air laut yang merambati kaki mereka. semuanya telah menghilang.
Tapi masih ada yang belum ditemukan. Karena itu, Abdullah, laki-laki yang berjalan terseok itu, terus mencari-cari. Tangannya telah lelah, hampir tak sisakan tenaga. Tapi gelombang di dadanya lebih besar daripada kehendak tubuhnya. Ia paksakan kakinya melangkah meski nyeri mulai menusuk pada memar kakinya.
Abdullah hentikan langkah. Layangkan matanya pada langit. Ia tidak tahu lagi apakah ini siang atau malam. Waktu telah berhenti sejak peristiwa itu. Tapi ia butuh waktu untuk mengais sisa tenaganya. Lalu apa yang masih menggerakkannya? Tubuh? Tidak. Tubuh itu sudah tidak berfungsi lagi. Namun, kalau pun kaki itu harus dicabut dari tungkainya, Abdullah akan terus berjalan. Semuanya memang telah sirna. Tapi masih ada yang tertinggal. Karena itu, ia masih mencari. Sepanjang beberapa depa, Abdullah kembali menghentikan langkah. Kakinya dilanda nyeri. Seribu semut merah seperti menggigiti urat kakinya. Abdullah Memijit-mijitnya dengan perlahan. Hanya istirahat sejenak. Sebab sesudahnya, dengan rasa sakit yang masih menyisa, Abdullah berjalan kembali.
Mungkin rasa sakit itu sudah hilang. Bersama tumpahan air mata yang membanjir berhari-hari sebelumnya hingga tak menyisa. Meskipun ia minum seluruh air laut di Pantai Ulee Lheu, itu takkan bisa menggantinya. Abdullah pun telah menghapus air mata itu dalam catatan di darahnya. Seperti beku telah membungkus hatinya. Hanya dengan mata ia berjalan. Mata yang gelap.Berhari-hari yang lalu, Abdullah telah jelajahi seluruh tempat. Puing-puing yang luruh. Mayat-mayat yang serak. Ada tetangganya, teman melaut, teman anaknya yang sering menunggui kapal ikan datang, penjaga surau kampung. Namun ia tak ada di sana. Karena itu, Abdullah terus mencari.''Sudahlah, Abdullah. Istirahatlah sejenak. Badanmu sudah letih.''
Ia tidak begitu awas, apakah itu suara istrinya atau tetangganya.
''Nanti saja.
Aku selesaikan dulu pekerjaan ini. Nanti aku kembali.''
Tidak. Ia telah berbohong pada istrinya. Kembali? Aku belum menemukan yang kucari, maka aku tidak akan kembali. Lagipula kemana aku akan kembali? Abdullah menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak kan ada langkah surut, suara hati Abdullah kuatkan langkahnya.Istrinya memang memahami sikapnya. Batu yang keras itu tak akan mudah dilebur dalam satu pukulan kampak.''Anakmu sudah menanti. Mengapa engkau masih tak tahu juga, Abdullah. Bukankah engkau tahu mereka sudah menantimu untuk makan siang.''Sedetik tubuh Abdullah mengeras. Matanya tajam menentang ke atas. Ada yang dicarinya di sana. Tapi tak ada apa-apa. Langit tak biru.
Merah memantul dari lensa matanya. Hanya angin yang berkesiur. Selebihnya tak ada.
''Nantilah. Nanti saja. Aku belum ingin pulang.''
''Apa yang kau cari, wahai Abdullah? Kau tak turuti anjuran istrimu.
Mengapa engkau masih bengal juga, Abdullah!
''Itu suara ayahnya. Suaranya keras, seperti dirinya. Abdullah tak peduli.
''Kemana engkau akan pergi, anakku?'' perempuan yang matanya kelabu memanggilnya serupa angin.''Tak usah hiraukan aku, Bu.''Abdullah terus berjalan. Kakinya yang menyusut dari waktu ke waktu dan makin kehilangan daya tak mampu kalahkan kehendaknya. [sumber]


NORHUDA duduk tercenung di bangku taman, di salah satu sudut Taman Monas. Ia menyapukan lagi pandangannya ke seluruh sudut taman itu – pekerjaan yang sudah dia ulang-ulang sampai bosan. Ia masih berharap dapat menemukan mawar biru di sana, atau sebuah keajaiban yang bisa memunculkan sekuntum mawar biru di tengah hamparan rumput taman itu. “Bukankah Tuhan memiliki kekuatan kunfayakun ? Kalau Tuhan berkata ‘jadi!' maka ‘jadilah'. Ya, kenapa aku tidak berdoa, memohon padaNya saja?” pikirnya.
 “Ya Allah, dengan kekuatan kun fa yakun- Mu mekarkanlah sekuntum mawar biru di depanku saat ini juga,” teriak Norhuda tiba-tiba, sambil berdiri, menadahkan tangan dan mendongak ke langit.
Tak lama kemudian ada seorang lelaki tua jembel, dengan kaus robek-robek dan celana lusuh, mendekatinya dan duduk di sebelahnya. Bau bacin langsung menusuk hidung Norhuda dan membuatnya mau muntah. Jembel ini pasti tak pernah mandi, pikirnya. Norhuda mengangkat pantatnya, bermaksud segera pindah ke bangku lain. Tapi, orang tua itu tiba-tiba bersuara parau:
“Maaf, Nak. Bolehkah saya minta tolong?”
“Minta tolong apa, Pak?”
“Rumah Bapak di seberang sana . Bapak tidak berani menyeberang sendiri. Takut tersesat. Ugh ugh ugh.”
Orang tua, yang ternyata tuna netra, itu batuk-batuk dan meludah sembarangan. Norhuda makin jijik saja.
“Kota ini betul-betul seperti hutan, menyesatkan. Banyak binatang buasnya. Harimau, buaya, badak, ular berbisa, tikus busuk, kadal, bunglon, kecoa, semua ada di sini. Kau harus hati-hati, Nak, agar tidak jadi korban mereka.”
“Bapak mau pulang sekarang?”
“Ya ya, Nak. Diantar sampai rumah ya?”
Norhuda pusing juga. Mencari bunga mawar biru belum ketemu, tiba-tiba kini ada orang tua jembel minta diantar pulang. Sampai rumahnya pula. Dan selama itu ia harus menahan muntah karena bau bacin lelaki tua itu. Meski hatinya agak berat, Norhuda terpaksa menuntun lelaki tuna netra itu. Ia harus sering-sering menahan nafas untuk menolak bau bacin tubuh lelaki tua itu.
“Bapak tinggal di kampung apa?”
“Di kampung seberang.”
“Aduh…. Bapak tadi naik apa ke sini?”
“Kereta api listrik.  Tadi Bapak naik dari Bogor , mau pulang, tapi kebablasan sampai sini. Jadi, tolong diantar ya, Nak. Bapak takut kebablasan lagi.”
Norhuda terpaksa mengantar orang tua tunanetra itu, dengan naik KRL dari stasiun Gambir. Begitu naik ke dalam gerbong, lelaki gembel itu langsung mempraktikkan profesinya, mengemis, dan Norhuda dipaksa menuntunnya dari penumpang ke penumpang. Maka, jadilah dia pengemis bersama tunanetra itu, dengan menahan rasa malu dan cemas kalau-kalau kepergok kawannya
“Maaf ya, Nak. Bapak hanya bisa meminta-minta seperti ini untuk menyambung hidup. Tapi, Bapak rasa ini lebih baik dari pada jadi maling atau koruptor. Dulu Bapak pernah jadi tukang pijat. Tapi sekarang tidak laku lagi, karena sudah terlalu tua,” kilah lelaki gembel itu.
                                    ***
TURUN dari KRL di Stasiun Lenteng Agung, hari sudah sore. Lelaki tua itu mengajak Norhuda menyeberang ke arah timur, kemudian mengajak menyusur sebuah gang. Tiap ditanya rumahnya di sebelah mana, di gang apa, RT berapa dan RW berapa, lelaki tua itu selalu menunjuk ke timur, hingga keduanya sampai di tepi Kali Ciliwung. Pada saat itulah, tanpa sengaja, Norhuda melihat segerumbul tanaman dengan bunga-bunga berwarna biru tumbuh di pinggir sebuah hamparan rerumputan.
“Sebentar, Pak, saya membutuhkan bunga itu.”
Norhuda bergegas ke tanaman bunga itu, dan betul, bunga mawar biru, yang tumbuh liar di tepi hamparan rerumputan di pinggir jalan setapak yang menyusur lereng Kali Ciliwung. Dia langsung berjongkok dan dengan penuh suka cita memetik beberapa kuntum, serta mencium-ciumnya dengan penuh gairah. Harum bunga itu begitu menyengat, seperti bau parfum yang mahal. Saat itulah, tiba-tiba terdengar suara parau lelaki tua yang tadi bersamanya dari arah belakangnya:
“Nak, ini uangmu. Saya taruh di sini ya. Saya pamit dulu.”
Norhuda langsung berpaling ke arah suara itu. Tapi tak ada siapa-siapa, kecuali sebuah kantong kain lusuh teronggok persis di belakangnya. Dengan matanya, Norhuda mencari-cari lelaki tua itu di tiap sudut jalan dan tepi kali, tapi tidak menemukannya. Aneh, lelaki itu raib begitu saja, pikirnya.
Norhuda merasa sedikit takut. Pikirannya menebak-nebak siapa lelaki gembel yang membawanya ke tempat itu dan raib begitu saja. Malaikatkah dia? Jin? Atau Nabi Hidir? Ia pernah mendengar kisah tentang Nabi Hidir yang konon hidup di sepanjang sungai dan suka menyamar menjadi lelaki gembel. Norhuda merinding memikirkannya.
                                    ***
SETELAH mawar biru ada di tangannya, satu-satunya yang terpikir oleh Norhuda adalah segera membawanya kepada kekasihnya, Sovia, yang sedang sekarat di RS Fatmawati. Ia sangaja memilih taksi untuk meluncur cepat ke sana .
Di Adelweis Room, Novia sudah koma. Tangannya diinfus darah merah,  hidungnya ditutup masker oksigen. Matanya terpejam dengan rona wajah pucat pasi. Ayah dan ibu sang gadis duduk di dekatnya dengan wajah cemas.
Dengan perasaan cemas pula Norhuda mendekati Sovia dan berbisik di telinganya, “Novia, kau dengar aku. Aku sudah menemukan mawar biru yang kau tunggu. Ini aku bawakan untukmu.”
Tiba-tiba gadis itu membuka matanya, dan pelan-pelan tangannya bergerak, membuka masker oksigen dari hidungnya.
“Mana bunga itu, Sayang,” katanya lirih.
“Ini.”
Dengan tangan kanannya Novia meraih bunga itu, lalu menempelkan ke hidungnya dan menyedot harumnya dengan penuh gairah. Pelan-pelan rona wajahnya menjadi segar.
“Bunga ini akan menyembuhkanku. Ini bunga yang kulihat dalam mimpi. Ini pasti bunga dari sorga. Syukurlah, kau dapat menemukannya. Aku akan memakannya.”
Novia benar-benar memakan bunga itu, helai demi helai kelopaknya. Sesaat kemudian, dengan bibir menyunggingkan senyum, pelan-pelan ia memejamkan matanya. Ia tertidur dengan mendekap sekuntum mawar biru yang tersisa.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto Saya
Nama nabil taqiuddin madjid, paling suka bareng sama nisa temenan sama nisa pokoknya bareng nisa terus wkwkwkwk